Mengampuni Tanpa Batas

Matius 18 : 21 -35

Seorang perempuan berusia 40 tahun itu nampak selalu ceria dan murah senyum, sangat berbeda dengan dirinya 5 tahun yang lalu. Dulu ia nampak selalu murung dimanapun ia berada. Para tetangga, rekan-rekan sekerjanya di kantor, sesama anggota jemaat di gereja, bahkan adik kandungnya sendiri menjulukinya “si murung”. Entah apa yang ada dalam benaknya kala itu. Seolah ada sekumpulan awan mendung yang selalu membayangi pancaran wajahnya sepanjang hari, dari pagi hingga petang Dalam sebuah kesaksian tentang luka masa lalunya yang telah dipulihkan, ia berkisah, “Saat saya masih berusia 6 tahun, saya pernah bertengkar hebat dengan adik kandung saya.

Pada waktu itu, seusai makan malam, adik saya membawa sepotong kue ke dalam kamar, dan mengotori kasur dan lantai kamar kami dengan remah-remah kue itu. Ibu memang melarang keras kami untuk makan di dalam kamar. Namu adik saya tidak pernah mengakui perbuatannya itu di depan ibu selama 29 tahun. Malam itu, ibu marah besar kepada saya. Dan entah kenapa sejak saat itu saya selalu merasa bahwa ibu lebih menyayangi dan mengistimewakan adik saya ketimbang saya. 5 tahun yang lalu, untuk pertama kalinya adik saya mengucapkan kata maaf kepada saya selama 35 tahun terakhir dalam hidup saya. Tidak ada kata lain yang saya harapkan dari dia, selain kata maaf untuk kejadian malam hari itu.”

Pernahkah terlintas di benak kita bahwa kata-kata sederhana seperti “Maaf”, “Terima kasih”, dan “Aku mengasihimu”, ternyata memiliki daya yang sangat besar untuk membukakan pintu pemulihan bagi relasirelasi yang mulai retak dalam kehidupan kita? Namun mengapa seringkali perkataan itu begitu sulit terucap dari mulut kita? Seorang bijak mengatakan, “Musuh terbesar manusia bukanlah sesuatu yang ada di luar dirinya, melainkan dirinya sendiri.”

Bukankah pernyataan ini menyiratkan sebuah kebenaran? Terkadang membutuhkan komitmen yang besar untuk dapat mengalahkan diri sendiri dengan segala egoisme yang ada didalamnya. Mari renungkan perkataan seorang raja dalam kisah perumpamaan yang kita baca hari ini, “Bukankah engkau pun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau?” (Mat. 18:33). Selamat berdamai, berpulih dan mengampuni tanpa batas.

17 September 2023

Pdt. Aditya Christo

*Untuk Kalangan Sendiri – for Non-Moslem Only

Teguran Yang Memulihkan

Matius 18:15-20

Melalui bacaan Injil Minggu yang lalu, kita belajar bagaimana mengikuti Yesus berarti menyerahkan seluruh hidup, pikiran, kehendak bahkan kemerdekaan kita kepada Tuhan, seperti yang Yesus lakukan di hadapan Sang Bapa. Di sana kita melihat bagaimana kemuridan telah memperluas visi hidup kita di dunia seturut nilai-nilai Kerajaan Allah.

Dalam dinamika kehidupan yang diproses itulah, kita melihat adegan Petrus menegur Yesus, dan Yesus menegur Petrus. Sebuah suasana yang dipenuhi ketegangan, namun melaluinya kita diingatkan bahw a perjalanan mengikut Kristus memang tak jarang membuat kita harus berkonflik dengan dunia dan sesama. Apa jadinya jika ada saudara, sahabat atau bahkan keluarga terdekat yang menyakiti kita, atau berselisih paham dengan kita? Ketika hal itu terjadi, konflik batin antara harga diri dan belas kasihan Allah adalah hal yang cukup sulit untuk disikapi. Ketika kita berkonflik dengan seseorang karena satu dan lain hal, semuanya akan terasa sangat pribadi. Namun bagaimana konflik itu harus dikelola agar ia mampu mempererat relasi dan persatuan gereja demi perwujudan pekerjaan-pekerjaan Kristus?

Bacaan Injil hari ini (lagi-lagi) berbicara soal pengajaran yang lebih luas tentang bagaimana hidup dalam Kerajaan Allah. Dalam bagian ini, Yesus mengajarkan kita bagaimana mengelola konflik dalam jemaat sehingga mereka dapat hidup bersama dalam kedewasaan Rohani. Seperti yang Yesus doakan, “…supaya mereka sempurna menjadi satu, agar dunia tahu, bahw a Engkau yang telah mengutus Aku dan bahw a Engkau mengasihi mereka…” (Yoh. 17:23, TB 1). Namun bagaimanakah gereja yang notabene adalah “komunitas para pendosa” dapat menjadi teladan persatuan bagi dunia?

Di sisi yang lain, tentu kita tak perlu terlalu “takut” berkonflik. Sebab hadirnya dalam jemaat justru dapat menjadi salah satu tanda vital dari adanya relasi “keter-saling-an” di sana. Tanpa adanya relasi, maka persekutuan itu akan mati. Tak ubahnya seperti sekumpulan orang yang sedang duduk menonton di gedung bioskop. Adanya interaksi di tengah keberagaman terkadang memang menyebabkan konflik.

Konflik itu dapat terjadi. Namun kita bersyukur karena Kristus mengajarkan sebuah “cara gerejaw i” untuk menyikapinya. Ia sungguh rindu agar gereja-Nya selalu hidup dalam pemulihan, kedew asaan rohani, pengampunan dan keutuhan.

10 September 2023

Pdt. Aditya Christo

*Untuk Kalangan Sendiri – for Non-Moslem Only

Hidup Dalam Pola Pikir Allah

(Matius 16: 21 – 28)

Dalam pola asuh yang kami terapkan kepada anak kami (Aaron) yang berusia empat tahun, kami memberlakukan beberapa disiplin yang telah kami sepakati bersama. Dua di antaranya adalah waktu dimana dia dapat mengakses gawai, dan waktu dimana dia dapat memakan coklat dan permen. Disiplin itu tentu saja diterapkan demi menjaga kesehatan mental dan fisiknya.

Namun seorang anak agaknya selalu punya 1001 cara untuk menghindari disiplin dengan berbagai macam alasan, salah satunya adalah keinginan yang tak dapat menunggu. “Tapi Aaron mau sekarang!”, ucapnya kala keinginan itu sudah tak terbendung lagi. Dalam banyak hal, seorang balita belum mampu melihat sebuah “potret besar” yang dilihat oleh orang tuanya. Semenjak manusia jatuh dalam dosa, agaknya keterpusatan pada pikiran dan perasaan diri sendiri telah menjadi natur yang inheren. Hal ini terbukti dari keputusan manusia pertama untuk percaya pada propaganda iblis, “Sekali-kali kamu tidak akan mati… matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat.” (Kej. 3:4-5). Nyatanya pengetahuan yang dijanjikan itu justru membuat manusia kian gagal melihat rancangan besar Allah yang melibatkan mereka sebagai mitra-Nya dalam misi pemeliharaan seluruh ciptaan (Kej. 1:28).

Sebaliknya, kehendak merekalah yang menjadi pusat semesta. Selain kisah penyangkalan Petrus, ada sebuah kisah dramatis lain yang paling membekas dalam ingatan saya setiap kali berbicara tentang salah satu sokoguru gereja mulamula ini. Hal ini dicatat dalam Matius 16:23 ketika Yesus memberitakan penderitaan-Nya untuk pertama kali di hadapan para murid, “Maka Yesus berpaling dan berkata kepada Petrus: Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.” Iblis kembali mendustai manusia untuk percaya bahwa ada hidup yang bebas dari penderitaan.

Sementara bagi Yesus, konsep Mesias yang berjaya tanpa jalan derita ini sangatlah tidak realistis, dan dengan demikian, berlawanan dengan rencana dan pikiran Allah. Namun demikian, siapakah yang dapat benar-benar mengenal pikiran Allah? (bdk. Mzm. 139:17). Kesadaran akan ketidaksempurnaan diri hendaknya menyadarkan kita untuk melatih diri dalam pimpinan Roh untuk selalu memikirkan hal-hal yang melampaui kehendak kita.

3 September 2023

Pdt. Aditya Christo

*Untuk Kalangan Sendiri – for Non-Moslem Only

Menjadi Jembatan Bagi Bangsaku

Matius 15:21-28

Suatu hari, seorang perempuan muda bermimpi bahwa ia meninggal dan pergi ke surga. Saat seorang malaikat mengantarnya untuk melihat-lihat di surga, ia melihat ada setumpuk kotak dan salah satu kotak tertulis namanya. Ia bertanya pada malaikat apa isi kotak-kotak itu. Malaikat menjawab, “itu kotak doa. Ketika seorang anak Allah memohon sesuatu, dilakukan persiapan untuk memberi jawaban doanya. Tetapi bila si pemohon tidak menanti jawaban itu, maka para malaikat diperintahkan untuk mengembalikannya dan menyimpannya di ruangan itu.” Hari ini kita bercermin dari seorang Ibu tanpa nama dari Kanaan, yang punya posisi minoritas ganda.

Pertama, karena ia perempuan. Kedua, karena ia orang asing, bahkan disebut kafir oleh orang Israel yang menjadi musuh bangsanya. Ia datang pada Tuhan Yesus, merendahkan diri dalam pengakuan bahwa Yesus adalah Tuhan dan Anak Daud. Ia tahu bahwa Tuhan Yesus itu Mesias. Ia memohon belas kasihan atas penderitaan anak perempuannya yang juga punya posisi minoritas; perempuan, orang asing, cuma anak-anak, sakit dan kerasukan. Ia memohon dengan merendahkan diri, kemudian Tuhan Yesus menerimanya karena Ia melihat iman yang besar. Iman seperti apa yang dilihat Tuhan Yesus pada Sang Ibu? Iman dalam ketekunannya, kerelaan untuk menunggu, kemampuannya untuk bertahan dan pengendalian dirinya yang besar terhadap perdebatan dengan Kristus. Ia tidak menghakimi Tuhan tidak peduli dan pilih kasih, ia menunjukkan pengertian akan kebutuhan dan penderitaan Israel, dan ia merendahkan diri dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak perlu mengambil berkat untuk Israel dan memindahkannya pada dirinya.

Ia percaya bahwa remah/sisa saja sudah cukup baginya. Dalam penderitaannya, ia tetap sempat dan mampu melihat kebutuhan dan penderitaan Israel. Ia percaya bahwa kalau Allah menerima dan mengurusi orang lain, maka Allah tidak sedang menolak atau meninggalkan atau melewati kita. Allah cukup bagi semua. Sang Ibu juga tidak tersinggung dengan sebutan posisi yang merendahkan itu, mengapa? karena dalam hatinya tidak ada kebencian, dendam dan permusuhan pada Israel. Henry Drummond menulis bahwa mudah tersinggung adalah penyakit bagi jiwa. Sifat mudah tersinggung yang kronis berasal dari mencintai diri sendiri yang berkobar-kobar sampai pada titik akut. Posisinya sebagai minoritas ternyata tidak membuat hati Sang Ibu pahit dan penuh kebencian. Dan inilah yang dilihat Tuhan sebagai iman.

Kita yang mencintai Indonesia, apakah kita juga berdoa dan benar-benar menanti serta berharap yang terbaik bagi bangsa kita? Apakah kita juga memberi ruang bagi perjuangan untuk bangsa-bangsa lain di sekeliling kita yang menderita? Atau, kita hanya sekedar menaikan doa, lalu kemudian tidak mengharapkan apa-apa karena kemarahan dan kekecewaan kita pada Indonesia atau bangsa lain? Apakah ada iman dalam diri kita untuk kedamaian dan kemajuan Indonesia supaya jadi berkat bagi seluruh isi bumi? Jangan tunggu orang lain, mari kita mulai dari diri kita menjadi jembatan iman bagi bangsa Indonesia bahkan bagi semua bangsa di dunia. Tuhan menolong kita.

20 Agustus 2023

Pdt. Erlinda Zebua

*Untuk Kalangan Sendiri – for Non-Moslem Only

Jejak Perubahan Bagi Bangsa

Matius 14:22-33

Seorang anak kecil sangat suka dan senang dipuji, karena itu ia akan menunjukkan kepintarannya, kehebatannya, kekuatannya dan memamerkannya di depan orang tuanya. Dia akan gengsi untuk dibantu mengenakan baju, memakai sepatu atau mengangkat sesuatu. Ia ingin terlihat kuat, keren dan hebat di mata orang tua, saudara, atau orang lain. Tetapi, ketika seseorang menjadi dewasa, biasanya ia tahu kapan harus berjuang sendiri dan kapan pula saatnya harus meminta bantuan dan mengandalkan orang lain. Orang dewasa tahu kapan ia bisa membanggakan kelebihannya, dan kapan ia memerlukan orang lain untuk menopang kelemahannya. Karena orang dewasa sadar bahwa seorang superhero sekalipun masih membutuhkan superhero lain.

Lihatlah Petrus! Bukankah ia sudah sangat hebat ketika ia percaya bahwa yang berjalan di atas air itu adalah Tuhan, bukan hantu seperti sangkaan murid-murid lain? bukankah juga hebat bahwa ia berani melangkah keluar dari perahu dan berjalan di atas air? Padahal di luar perahu ada gelombang air yang cukup besar untuk mengombang-ambingkan perahu, namun sebagai nelayan yang tahu resiko dan bahaya, ia tetap berani keluar dari perahu. Nah, ketika ia makin dekat kepada Tuhan, ia malah goyah karena takut pada angin yang bertiup. Lalu, lihatlah Indonesia! Betapa hebat dan luar biasanya para pendahulu kita dalam memperjuangkan kemerdekaan. Mereka tahu bahaya dan pengorbanan yang akan terjadi, tetapi dengan iman yang berkobar untuk mengasihi bangsanya, mereka habis-habisan memegang prinsip “merdeka atau mati”. Kini, ketika bangsa kita sudah masuk dalam kemerdekaan, menempuh jalur yang penuh gelombang dan badai, bukankah yang mematahkan langkah kita seringkali adalah “tiupan angin”?

Mata kita fokus pada masalah dan tantangan yang ada, kita lupa melihat ada banyak jejak Tuhan yang menjadi bukti pertolonganNya dalam badai dan gelombang besar yang pernah kita lalui. Dalam memperingati kemerdekaan bangsa kita, kita diajak untuk melihat dan bersyukur untuk semua jejak kasih dan kuasa Tuhan yang sudah memberikan kita pembebasan. Kita juga harus terus menerus mengandalkan Tuhan dalam menjalani dan mengisi kemerdekaan ini, bukannya menjadi sombong dan lupa diri.

Kekuatan terbesar kita bukan saat kita bisa, bukan saat kekuatan kita cukup, bukan saat bisa bisa bersandar pada kekuatan kita sendiri. Tetapi, iman kita, kekuatan sejati kita adalah, saat kita percaya pada Allah, mempercayakan dan mempertaruhkan semua pada Allah. Saat Petrus tenggelam dan mengulurkan tangannya kepada Kristus, di situlah iman kanak-kanaknya bertumbuh menjadi iman yang dewasa. Demikian juga, bangsa kita baru menjadi dewasa jika kita bisa mempertaruhkan perubahan dan kemajuan bangsa ini di tangan Sang Maha Kuasa, Allah, yang sudah menganugerahkan kemerdekaan bagi kita.

13 Agustus 2023

Pdt. Erlinda Zebua

*Untuk Kalangan Sendiri – for Non-Moslem Only