Matius 15:21-28

Suatu hari, seorang perempuan muda bermimpi bahwa ia meninggal dan pergi ke surga. Saat seorang malaikat mengantarnya untuk melihat-lihat di surga, ia melihat ada setumpuk kotak dan salah satu kotak tertulis namanya. Ia bertanya pada malaikat apa isi kotak-kotak itu. Malaikat menjawab, “itu kotak doa. Ketika seorang anak Allah memohon sesuatu, dilakukan persiapan untuk memberi jawaban doanya. Tetapi bila si pemohon tidak menanti jawaban itu, maka para malaikat diperintahkan untuk mengembalikannya dan menyimpannya di ruangan itu.” Hari ini kita bercermin dari seorang Ibu tanpa nama dari Kanaan, yang punya posisi minoritas ganda.

Pertama, karena ia perempuan. Kedua, karena ia orang asing, bahkan disebut kafir oleh orang Israel yang menjadi musuh bangsanya. Ia datang pada Tuhan Yesus, merendahkan diri dalam pengakuan bahwa Yesus adalah Tuhan dan Anak Daud. Ia tahu bahwa Tuhan Yesus itu Mesias. Ia memohon belas kasihan atas penderitaan anak perempuannya yang juga punya posisi minoritas; perempuan, orang asing, cuma anak-anak, sakit dan kerasukan. Ia memohon dengan merendahkan diri, kemudian Tuhan Yesus menerimanya karena Ia melihat iman yang besar. Iman seperti apa yang dilihat Tuhan Yesus pada Sang Ibu? Iman dalam ketekunannya, kerelaan untuk menunggu, kemampuannya untuk bertahan dan pengendalian dirinya yang besar terhadap perdebatan dengan Kristus. Ia tidak menghakimi Tuhan tidak peduli dan pilih kasih, ia menunjukkan pengertian akan kebutuhan dan penderitaan Israel, dan ia merendahkan diri dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak perlu mengambil berkat untuk Israel dan memindahkannya pada dirinya.

Ia percaya bahwa remah/sisa saja sudah cukup baginya. Dalam penderitaannya, ia tetap sempat dan mampu melihat kebutuhan dan penderitaan Israel. Ia percaya bahwa kalau Allah menerima dan mengurusi orang lain, maka Allah tidak sedang menolak atau meninggalkan atau melewati kita. Allah cukup bagi semua. Sang Ibu juga tidak tersinggung dengan sebutan posisi yang merendahkan itu, mengapa? karena dalam hatinya tidak ada kebencian, dendam dan permusuhan pada Israel. Henry Drummond menulis bahwa mudah tersinggung adalah penyakit bagi jiwa. Sifat mudah tersinggung yang kronis berasal dari mencintai diri sendiri yang berkobar-kobar sampai pada titik akut. Posisinya sebagai minoritas ternyata tidak membuat hati Sang Ibu pahit dan penuh kebencian. Dan inilah yang dilihat Tuhan sebagai iman.

Kita yang mencintai Indonesia, apakah kita juga berdoa dan benar-benar menanti serta berharap yang terbaik bagi bangsa kita? Apakah kita juga memberi ruang bagi perjuangan untuk bangsa-bangsa lain di sekeliling kita yang menderita? Atau, kita hanya sekedar menaikan doa, lalu kemudian tidak mengharapkan apa-apa karena kemarahan dan kekecewaan kita pada Indonesia atau bangsa lain? Apakah ada iman dalam diri kita untuk kedamaian dan kemajuan Indonesia supaya jadi berkat bagi seluruh isi bumi? Jangan tunggu orang lain, mari kita mulai dari diri kita menjadi jembatan iman bagi bangsa Indonesia bahkan bagi semua bangsa di dunia. Tuhan menolong kita.

20 Agustus 2023

Pdt. Erlinda Zebua

*Untuk Kalangan Sendiri – for Non-Moslem Only

gkbikl
Author: gkbikl

Gereja Kristen Berbahasa Indonesia Kuala Lumpur

Leave a Reply