(Matius 16: 21 – 28)

Dalam pola asuh yang kami terapkan kepada anak kami (Aaron) yang berusia empat tahun, kami memberlakukan beberapa disiplin yang telah kami sepakati bersama. Dua di antaranya adalah waktu dimana dia dapat mengakses gawai, dan waktu dimana dia dapat memakan coklat dan permen. Disiplin itu tentu saja diterapkan demi menjaga kesehatan mental dan fisiknya.

Namun seorang anak agaknya selalu punya 1001 cara untuk menghindari disiplin dengan berbagai macam alasan, salah satunya adalah keinginan yang tak dapat menunggu. “Tapi Aaron mau sekarang!”, ucapnya kala keinginan itu sudah tak terbendung lagi. Dalam banyak hal, seorang balita belum mampu melihat sebuah “potret besar” yang dilihat oleh orang tuanya. Semenjak manusia jatuh dalam dosa, agaknya keterpusatan pada pikiran dan perasaan diri sendiri telah menjadi natur yang inheren. Hal ini terbukti dari keputusan manusia pertama untuk percaya pada propaganda iblis, “Sekali-kali kamu tidak akan mati… matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat.” (Kej. 3:4-5). Nyatanya pengetahuan yang dijanjikan itu justru membuat manusia kian gagal melihat rancangan besar Allah yang melibatkan mereka sebagai mitra-Nya dalam misi pemeliharaan seluruh ciptaan (Kej. 1:28).

Sebaliknya, kehendak merekalah yang menjadi pusat semesta. Selain kisah penyangkalan Petrus, ada sebuah kisah dramatis lain yang paling membekas dalam ingatan saya setiap kali berbicara tentang salah satu sokoguru gereja mulamula ini. Hal ini dicatat dalam Matius 16:23 ketika Yesus memberitakan penderitaan-Nya untuk pertama kali di hadapan para murid, “Maka Yesus berpaling dan berkata kepada Petrus: Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.” Iblis kembali mendustai manusia untuk percaya bahwa ada hidup yang bebas dari penderitaan.

Sementara bagi Yesus, konsep Mesias yang berjaya tanpa jalan derita ini sangatlah tidak realistis, dan dengan demikian, berlawanan dengan rencana dan pikiran Allah. Namun demikian, siapakah yang dapat benar-benar mengenal pikiran Allah? (bdk. Mzm. 139:17). Kesadaran akan ketidaksempurnaan diri hendaknya menyadarkan kita untuk melatih diri dalam pimpinan Roh untuk selalu memikirkan hal-hal yang melampaui kehendak kita.

3 September 2023

Pdt. Aditya Christo

*Untuk Kalangan Sendiri – for Non-Moslem Only

gkbikl
Author: gkbikl

Gereja Kristen Berbahasa Indonesia Kuala Lumpur

Leave a Reply