Markus 10:35-45
Bila berharap bahwa kita akan menikmati kehidupan rumah tangga yang nyaman, aman dan tentram
boleh-boleh saja. Tetapi, saya mau ingatkan: itu ilusi! Rumah tangga tanpa persoalan hanya ada dalam
mimpi. Betapa pun upaya keras kita untuk membentuk keluarga yang aman dan tentram, persoalan dan
masalah pasti akan selalu ada. Ribut-ribut dikit atau besar, tangis kesal, wajah cemberut karena sebal
pasti akan mewarnai kehidupan keluarga kita. Itu wajar saja. Bahkan ribut-ribut atau miskomunikasi itu
berkat yang besar. Ribut-ribut itu seperti sambal pedas pada nasi lemak. Pedas tetapi nikmat.
Ribut-ribut kecil dalam rumah tangga adalah proses yang harus dilewati keluarga mana pun. Gunanya
untuk pembentukan diri dan untuk memahami kepribadian pasangannya. Apa yang disukai dan yang
tidak disukai. Yang terpenting, ribut kecil jangan dibesarkan. Saat miskomunikasi jangan jadi
diskomunikasi. Saat konflik jaga mulut! Belajarlah menjalani konflik dengan tetap menghormati dan
menghargai pasangan kita. Dan satu hal ini harus diingat. Apa? Saat konflik jangan pernah sebut kata
‘ceraikan daku.” Juga jangan nyanyikan ‘pulangkan saja aku ke rumah orang tuaku.”
Kalau ada ribut-ribut atau miskomunikasi sedikit, responslah dengan positif. Syukuri saja. Maklum kita
dan pasangan kita bukanlah manusia sempurna. Kita manusia berdosa. Oleh karena itu terimalah
pasanganmu apa adanya seperti pasanganmu menerimamu apa adanya. Saat sedang berkonflik artinya
rumah tangga sedang kena ‘demam.’ Pasti situasinya panas-dingin. Ga enaklah! Tetapi, bertekadlah
untuk memulihkan kehidupan keluargamu. Langkah paling awal adalah dengan mempersiapkan diri
untuk selalu mengampuni. Bersiap-siap juga untuk dengan rendah hati mohon maaf atas kesalahan atau
keusilan. Yang terpenting, saat sedang ribut kendalikanlah emosi. Mulailah jalin komunikasi. Bangun
dialog dan ‘negosiasi.’ Carilah model keluarga macam apa yang akan dibentuk bersama
Ada pasangan yang ribut besar karena persoalan kecil. Sebaliknya, ada juga yang ribut-ribut kecil
padahal sedang berhadapan dengan persoalan yang serius dan besar. Jadi, yang terpenting bukan
seberapa besar kualitas persoalannya. Yang terpenting adalah bagaimana responsnya. Nah, respons ini
tergantung pada tingkat dan kualitas kematangan yang kita miliki. Suami-istri yang matang akan
menyelesaikan persoalan mereka dengan tenang dan hikmat. Sebaliknya, suami istri yang kekanak-
kanakan cenderung membesar-besarkan persoalan yang kecil dan simple. Jadilah keluarga yang matang
dan dewasa. Belajarlah untuk saling berempati yaitu kesediaan untuk mendengar dan menghargai opini,
keluhan atau juga teriakan kegembiraan pasanganmu. Tetapi, yang lebih utama lagi adalah
persembahankanlah keluarga kita yang tidak sempurna itu untuk selalu dipulihkan dan diberkati Tuhan.
Bersama Tuhan segalanya pasti akan bisa dihadapi dan diatasi!.
17 Oktober 2021
Pdt. Albertus Patty
*Untuk Kalangan Sendiri – for Non-Moslem Only