(Markus 9:2-9)
Hai, jumpa lagi dengan aku, Si Penjelajah Waktu. Sekarang Aku ingin membagi salah satu pengalaman penjelajahanku.

Aku tidak dapat mengingkari bahwa kadang aku merasa takut atau kuatir. Terlebih lagi di tengah-tengah situasi pandemi yang belum berakhir ini. Aku merasakan sepertinya kemuraman dan kesuraman akan menjadi bagian kehidupan di waktu-waktu mendatang. Ah, membayangkan hal itu, aku semakin ngeri. Hatiku pun bertanya, “masih adakah pengharapan? Tak terasa, jarum jam berputar terbalik untuk membawaku masuk ke sebuah pejelajahan waktu. Di situlah aku menemukan kembali penegasan bahwa pengharapan itu masih ada. Hasrat tidak boleh pudar atau mati walau terjadi pandemi maupun tragedi. Asa harus tetap menyala agar kehidupan dapat berlanjut.

Penjelajahanku kali ini memperjumpakanku dengan Petrus, Yakobus dan Yohanes. Karena dilarang oleh Tuhan Yesus untuk menceritakan peristiwa itu kepada orang-orang sebelum kebangkitan-Nya (bdk. Mark.9:9), maka mereka mempercakapkan di antara mereka sendiri tentang pengalaman di puncak gunung saat terjadi peristiwa transfigurasi. Dulu, Guru Sekolah Minggu-ku pernah menceritakan bahwa saat peristiwa transfigurasi itu tubuh fisik Tuhan Yesus berubah secara menyeluruh. Tubuh manusiawi-Nya memancarkan cahaya kemuliaan Allah. Lebih dari pada itu Dia berubah rupa secara rohaniah. “Ah, tapi apa pentingnya bagiku?”, pikirku dalam hati.

Eureka! (artinya: aku menemukan!) Roh kudus menuntunku untuk mengerti bahwa melalui peristiwa transfigurasi tersebut Tuhan Yesus memperkenalkan jati diri-Nya sebagai Anak Allah yang mulia sehingga seluruh tubuh-Nya diselubungi oleh cahaya sorgawi. Saat itu, tubuh manusiawi-Nya berubah menjadi tubuh sorgawi. Nah, jika peristiwa transfigurasi ini baru boleh diceritakan setelah Paskah, itu berarti bahwa tubuh kebangkitan-Nya itu identik dengan tubuh kemuliaan-Nya sebagaimana dinyatakan dalam peristiwa transfigurasi itu. Dengan kata lain, sebenarnya misteri tubuh kebangkitan Kristus telah disingkapkan dalam peristiwa transfigurasiNya di atas gunung. Kalau begitu, wajar kalau Allah menyatakan: “Inilah Anak yang Kukasihi, dengarkanlah Dia” (bdk. Mark. 9:7).

Inilah point penting bagiku, yaitu bahwa dalam peristiwa transfigurasi itu, Allah bukan hanya menyatakan Tuhan Yesus sebagai Anak Allah, melainkan juga meminta aku dan semua yang percaya kepada-Nya untuk sungguh-sungguh bersedia mendengarkan perkataan-Nya. Jadi aku tidak boleh ragu lagi untuk mengimani bahwa Tuhan Yesus itu adalah sang Mesias dan Anak Allah yang mulia. Jika cahaya kemuliaan Tuhan Yesus itu sama, baik saat tansfigurasi maupun kebangkitan, maka itu menunjukkan juga bahwa rangkaian kejadian yang terletak di antara kedua peristiwa itu, merupakan karya ke-Allah-an Tuhan Yesus. Terang kemuliaan yang sama akan tetap bersinar meskipun sepertinya disamarkan oleh penderitaan dan kematian. Toh, akhirnya terang kemuliaan itu akan bersinar dalam kemenangan Paskah. I see!

Pengalaman penjelajahan kali ini membongkar semua ketakutan dan kuatirku atas persoalan kehidupanku, termasuk setiap tragedi kehidupan dan pandemi kali ini. Ya, matahari akan tetap bersinar meskipun mega hitam menutupi sinarnya, bukan? Transfigurasi meneguhkan imanku bahwa tetap ada pengharapan di tengah-tengah penderitaan. Kemenangan akan diraih setelah bersusah-susah menghadapi tantangan. Habis hujan akan tampak pelangi. Oleh karena itu, aku tidak boleh putus asa. Aku harus melanjutkan kehidupanku, sebab Tuhan Yesus yang menang akan menuntunku ke jalan terang-Nya.

14 Februari 2021

Pdt. Guruh Jatmiko

*Untuk Kalangan Sendiri – for Non-Moslem Only

gkbikl
Author: gkbikl

Gereja Kristen Berbahasa Indonesia Kuala Lumpur

Leave a Reply