Matius 22 : 1 – 14

Hidup di tengah-tengah komunitas, tentu membutuhkan kesehatian. Namun kesehatian itu tidak bisa muncul secara otomatis. Kesehatian perlu diusahakan dan diasah lewat komunikasi dan pengalaman hidup. Demikian pula dalam kehidupan berkeluarga. Perlu ada yang namanya kesehatian: kesehatian suami-istri dalam mendidik anak; kesehatian anakanak dengan orangtua dst. Dari Injil Matius 22:1-14, kita bisa belajar 3 hal tentang bagaimana mengusahakan kesehatian di dalam keluarga, yakni:
Pertama, keluarga sehati itu berarti kita menyadari keberadaan diri kita sebagai umat Tuhan / keluarga Kristen, serta menempatkan diri secara tepat. Tokoh raja dalam bacaan di atas, mengadakan perjamuan kawin. Pada masa itu, undangan disampaikan 2x (saat rencana dicanangkan dan sekali lagi saat perjamuan sudah siap). Karena itu, pihak yang diundang seharusnya memandang diri mereka sebagai pribadi yang dihormati / dikasihi.
Sayangnya, pihak yang diundang tidak berlaku demikian, sehingga mendatangkan kekacauan. Dalam hidup berkeluarga, setiap anggota perlu menyadari status dan perannya masing-masing. Misalnya: di balik status ayah terdapat serangkaian peran seperti: mendampingi tumbuh kembang anak; mendidik anak seturut dengan kebenaran firman Tuhan; dan menjadi role model ayah kristiani yang bertanggung jawab. Pengabaian terhadap status dan peran, niscaya menimbulkan konflik. Karena itu, setiap anggota keluarga perlu menyadari status dan perannya masing-masing serta menempatkan diri secara tepat.
Kedua, keluarga sehati itu berarti kita mengenali apa yang menjadi kebutuhan keluarga kita, dan berusaha merespons kebutuhan anggota keluarga kita secara tepat. Sebuah perjamuan berangkat setidaknya dari 2 kebutuhan: untuk mengucap syukur dan bersosialisasi. Namun pihak yang diundang oleh raja mengabaikan pemenuhan kebutuhan sang raja sebagai penyelenggara perjamuan. Tidak heran, raja lantas mencari peserta perjamuan lainnya.
Setiap anggota keluarga tentu memiliki kebutuhan yang khas. Secara umum, perlu dikenali kebutuhan berikut ini: kebutuhan untuk dikasihi, diterima apa adanya, dan didukung saat menghadapi kesulitan. Pengabaian terhadap salah satu kebutuhan tersebut, dengan dalih sibuk atau tidak tahu, akan membuat luka dalam keluarga dan menjauhkan dari kesehatian. Sebaliknya, saat suami sedang susah, istri dan anak datang menghibur; atau saat anak-anak mengalami kesulitan, orangtua turut hadir mendampingi, maka di situlah kesehatian terasah.
Ketiga, keluarga sehati itu terjadi ketika kita bersedia menghargai aturan main dan kesepakatan di tengah keluarga. Dalam teks Alkitab kita, ada seorang tamu yang tidak mengenakan pakaian pesta, padahal ketentuannya ada dress code bagi pengunjung perjamuan. Itu berarti sang tamu tidak menghargai aturan main yang ada.
Kehidupan kita tidak terlepas dari aturan main, bukan? Termasuk dalam hidup berkeluarga. Susunlah peraturan dalam keluarga secara bersama-sama – dengan melibatkan anggota keluarga lainnya, termasuk anak-anak. Cobalah diskusikan latar belakang dari aturan-aturan yang disepakati dan ajak setiap anggota keluarga menjelaskan mengapa aturan itu perlu ditaati.
Jika sudah disusun, upayakanlah untuk mentaati aturan tersebut dalam semangat kasih. Di situlah kita mengasah kesehatian dalam keluarga. Soli Deo Gloria.
Pdt. Natanael Setiadi
*Untuk Kalangan Sendiri – for Non-Moslem Only