Yohanes 12 : 12 – 16 & Markus 15 : 6 – 15
Mahkamah Agama menuduh Yesus mau menghancurkan Bait Suci serta memakai gelar Mesias. Namun ketika memasuki Yerusalem, orang banyak mengelu-elukan Dia sambil berteriak: “Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, Raja Israel!”. Kebencian telah membuat para imam kepala itu ingin membunuh Yesus, namun mereka tidak punya dasar untuk menghukum mati Yesus. Strategi pun diubah dengan politisasi bahwa Yesus mengaku diri-Nya raja, ini alasan subversif, karena pemberontakan terhadap pemerintah yang berkuasa akan menghadapi hukuman mati!
Para Imam Kepala kemudian menghadapkan Yesus kepada Pilatus, karena hanya pemerintah Romawi yang bisa melakukan hukuman mati. Namun Pilatus tidak menemukan kesalahan yang bisa membuat Yesus dihukum mati, namun dia juga tetap membutuhkan dukungan dari para imam besar itu. Pilatus kemudian mengingat bahwa pada hari raya, seorang hukuman bisa dibebaskan. Ia kemudian memberikan memberikan pilihan kepada rakyat untuk membebaskan Yesus atau Barabas. Tapi imam-imam kepala menghasut orang masyarakat agar Yesus dihukum mati dan Barabas disalibkan. Kebencian telah membuat Imam-imam kepala yang seharusnya menjunjung tinggi keadilan, justru menginjak-injak keadilan.
Patung atau gambar Themis atau Justitia sering dihadirkan di ruang-ruang pengadilan untuk menunjukkan semangat “Fiat justitia ruat caelum” (Hendaklah keadilan ditegakkan, walau langit akan runtuh). Themis adalah isteri Zeus, perempuan cantik dengan mata tertutup kain dengan tangan kanan memegang pedang. Mata tertutup menunjukkan tidak pandang bulu dan pedang di tangan siap menebas siapa saja yang berlaku curang, jahat dan tidak adil. Justitia digambarkan sebagai perempuan membawa pedang dan timbangan dengan mata tertutup. Timbangan di tangan kiri melambangkan pembelaan dan perlawanan pada sebuah kasus. Tangan kanannya membawa pedang bermata dua yang menyimbolkan kekuatan pertimbangan dan keadilan, mata tertutup menggambarkan bahwa keadilan harus diberikan secara obyektif: tidak pandang bulu. Justitia dan Themis menunjukkan kerinduan manusia akan keadilan.
Seringkali kita merasa marah ketika kita melihat ketidak-adilan terjadi, namun tanpa kita sadari kitapun menjadi pelaku ketidak-adilan. Kebencian terhadap seseorang atau kelompok tertentu, membuat kita menghukum atau memprovokasi sehingga orang atau kelompok tersebut dihukum. Padahal belum tentu mereka bersalah. Kontribusi ketidak-adilan sering kita lakukan di mana saja: di rumah, di tempat kerja, di gereja dan di masyarakat. Ketika memiliki pengaruh atau kekuatan tertentu, kita cenderung mengumbar emosi, dan ketidak-adilan menjadi sesuatu yang nikmat untuk dikonsumsi. Berbagai “strategi menjatuhkan” menjadi sebuah permainan menarik yang membuat kita menantikan sebuah kemenangan.
Bagaimana dengan orang banyak yang menjadi “komoditi” pemuasan kepentingan para imam kepala, apakah mereka begitu saja lepas dari tanggung-jawab ? seringkali kitapun merasa jadi “orang-orang kecil” yang tidak mampu berbuat banyak, karena kita berada di bawah tekanan. Padahal setiap kita harus mempertanggung-jawabkan apa yang kita lakukan (Sebab Anak Manusia memang akan pergi seperti yang telah ditetapkan, akan tetapi, celakalah orang yang olehnya Ia diserahkan!” Luk. 22:22). Berapa banyak orang yang “menjadi korban” karena kita ? yang hidupnya menjadi sulit, menderita, bahkan celaka, karena kita ? Apakah kita sedang terbahak melihat kejatuhan mereka ? sadarkah kita, bahwa sebenarnya kita sedang melukai Yesus ? Kiranya kita benar-benar menjaga kata dan perbuatan, sehingga jangan dari mulut yang sama keluar kata “Hosana dan Salibkan Dia !” 25Maret2018