Yohanes 6 : 56 – 69

Ada berbagai alasan, motif dan tujuan mengapa orang mau menggabungkan diri dengan sebuah komunitas tertentu. Bisa karena kesamaan minat, kesamaan tujuan, kesamaan kepentingan dan yang seterusnya.Tapi ada juga yang dalam sosiologi kita kenal dengan istilah primordialisme. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, primordialisme diartikan sebagai pandangan yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik tradisi, adat istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertama.Menurut sosiolog Robuskha dan Shepsle, primordialisme merupakan loyalitas yang berlebihan terhadap suatu budaya subnasional, yakni seperti suku bangsa, agama, ras, kedaerahan, dan keluarga.

Secara disadari maupun tanpa disadari primordialisme dengan kadar yang berbeda-beda ada dalam diri manusia pada umumnya. Bahwa orang merasa lebih aman dan nyaman kalau berada di antara orang-orang yang memiliki makin banyak kesamaan dengan kita. Sama bangsanya, sama etnisnya, sama sukunya, sama agamanya, dan yang seterusnya. Tapi kita harus hati-hati.Sebab kalau kecenderungan itu makin kuat maka kita bisa terjebak pada eksklusivisme, yaitu sikap yang menganggap kelompok kami lebih baik, lebih benar, lebih suci, dan yang sejenisnya. Jadi kalau bicara kelompok suku bangsa, maka eksklusivisme akan membuat orang dari suku X akan memandang orang dari suku lain lebih rendah ketimbang sesama suku X. Kalau bicara kelompok agama, maka eksklusivisme akan mendorong orang yang beragama A akan memandang orang yang beragama B lebih rendah ketimbangkelompok agama A.

Jangankan beda agama, satu agama beda aliran saja bisa saling meninggikan diri dan merendahkan yang lain. Di dalam kekristenan pun bukankah itu terjadi? Entah secara terbuka atau tersamar di sana-sini masih ada sikap seperti itu kalau kita bicara denominasi yang beragam.Pada dirinya sendiri mayoritas anggota jemaat GKBI-KL adalah orang-orang Indonesia yang berasal dari berbagai denominasi. Setiap denominasi punya keunikan sendiri, oleh karena itu bukan tidak mungkin tradisi bergereja di gereja asal masih membekas Seandainya kecenderungan primordialisme masih kuat mewarnai mindset kita, maka bisa kita bayangkan apa yang akan terjadi. Betapa sulitnya untuk berderap dalam kesatuan sebagai satu tubuh Kristus.Kerinduan dan kesungguhan untuk menghadirkan diri sebagai gereja yang esa, juga di negeri Malaysia ini, tidak menghilangkan keragaman yang ada.

GKBI bersama gereja-gereja lain berkarya sesuai dengan keunikan yang Tuhan anugerahkan kepada masing-masing Gereja namun terbebas dari primordialisme apalagi eksklusivisme. Keunikan diri tidak membuat si aku menganggap dirikulah yang paling baik, paling benar, paling istimewa dan yang seterusnyaApa yang harus ada pada gereja agar hal itu bisa mewujud nyata dan terpelihara?Teks Injil Yohanes mengatakan kuncinya adalah: “…, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia. Sama seperti Bapa yang hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian juga barangsiapa yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku.” Mengapa begitu? Karena kita tahu bahwa Yesus ketika menyerahkan diri-Nya menjadi makanan dan minuman sejati seperti tema Minggu lalu, Ia telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan, seperti dipersaksikan dalam Efesus 2:14-16.

Perseteruan yang dimaksudkan di sini adalah permusuhan yang bersumber pada pementingan diri sendiri, egoisme. Bukankah akar primordialisme, eksklusivisme adalah pementingan diri sendiri, egoisme? Maka benarlah bahwa hanya ketika kita tinggal di dalam Dia dan Dia di dalam kita maka tembok-tembok pemisah di antara kita, diantara sesama anggota GKBI, antar denominasi, DAPAT DIRUBUHKAN dan kita bisa berderap bersama dalam persekutuan kasih dan karya. Lalu semangat itu dengan kekuatan dan hikmat Allah terus diperluas, hingga merubuhkan juga tembok pemisah agama, antar suku bangsa dan yang seterusnyaKalau membayangkan urusan “kita tinggal di dalam Yesus dan Yesus tinggal di dalam kita” maka saya segera membayangkan seperti kita hubungan kita dengan udara dan kandungan oksigennya. Kita baru bisa hidup hanya jika kita “tinggal” di dalam udara dengan kandungan oksigennya dan udara, persisnya oksigen, “tinggal” di dalam kita.

Saya membayangkan kondisi kesulitan bernafas yg dialami orang yang terpapar covid itu adalah seperti orang yang gagal menyambut Yesus untuk tinggal di dalam dirinya. Seumpama udara dengan kandungan oksigennya, Yesus nya ada di luar tubuh kita, tapi ada kendala yang membuat Dia tidak bisa masuk dan menghidupi kita Dan kalau kendala itu tidak diatasi maka kita akan kehilangan kehidupan sejati.Kendalanya bahwa sebagian orang mau menyandang nama Kristus namun tidak bersedia menundukkan diri, pikiran dan kehendak kepada-Nya: “Perkataan ini keras, siapakah yang sanggup mendengarkannya?” (ay 60) “Mulai dari waktu itu banyak murid-murid-Nya mengundurkan diri dan tidak lagi mengikut Dia” (ay 66).Kendalanya adalah karena apa yang aku harapkan, aku inginkan untuk dilakukan, dinyatakan, diajarkan Yesus tidak sama dng apa yang Yesus lakukan, nyatakan, ajarkan. Lalu bukannya menundukkan diri, pikiran dan kehendak kepada-Nya, sebagian orang malah memilih jalannya sendiriMaka harus ada keyakinan penuh seperti didemonstrasikan Petrus saat itu: “… kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah.” Percaya yang berarti menerima Yesus sebagaimana adanya Dia, bukan menjadikan Dia seperti maunya kita, sekalipun dengan akal pikiran yang ada pada kita, kita tidak selalu mengerti apa yang sebenarnya Ia lakukan, nyatakan dan ajarkan. Mari dengan penuh sukacita dan ketulusan kita menyambut Allah Trinitas yang di dalam Yesus memanggil kita untuk hidup di dalam-Nya, menyambut anugerah yang Ia sediakan, yaitu kesediaan-Nya untuk hidup di dalam kita.

Agar dengan demikian keragaman yang ada di diantara kita tidak menjadi tembok pemisah melainkan menjadi kekayaan untuk berderap bersama dalam persekutuan kasih dan karya agar nama Tuhan makin dipermuliakan. Tuhan menolong kita. AMIN. (RN)

22 Agustus 2021

Pdt. Ronny Nathanael

*Untuk Kalangan Sendiri – for Non-Moslem Only

gkbikl
Author: gkbikl

Gereja Kristen Berbahasa Indonesia Kuala Lumpur

Leave a Reply